A.
Menjelaskan Unsur Intrinsik Cerpen
Setelah pembelajaran
ini, Kamu diharapkan dapat mengidentifikasi unsur-unsur cerpen dan dapat
menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen, seperti penokohan, peristiwa, latar,
tema, dan pesan. Selain itu, Anda dapat mengaitkan pesan isi cerpen dengan
kehidupan sehari-hari.
Karya sastra, khususnya
Cerpen dalam pembicaraan kita saat ini, sejatinya merupakan miniatur kehidupan
yang dapat diambil banyak hikmahnya. Kita dapat mengetahui bahwa sifat
seseorang bisa menimbulkan antipati atau justru simpati setelah kita membaca
sebuah cerpen. Kita dapat mengetahui bahwa sebuah sebab dapat menimbulkan
kebaikan atau keburukan tanpa harus mengalaminya sendiri. Membaca cerpen
memberikan banyak manfaat bagi kita untuk bercermin tentang kehidupan,
memperkaya pengalaman dan menemukan hal-hal yang baru.
Pengalaman adalah guru
yang terbaik. Guru yang tak pernah memarahi dan guru yang paling sabar, oleh
karena itu wajib kiranya kita meluangkan waktu membaca cerpen secara berkala.
Sebagai pembuka mari kita simak cerpen di bawah ini bersama-sama.
Darmon
Karya Harris Effendi
Thahar
Dari suara dan sopan santunnya menyapa, saya cukup simpati. Tetapi melihat tampangnya, pakaiannya, dan bungkus rokok yang sekilas saya lihat di kantung kemejanya, saya kurang berkenan.
"Saya Darmon, teman anak Bapak, Maya, yang mengantar
malam-malam sehabis demo tempo hari." "Oh, ya? Saya tidak ingat kamu waktu itu.Tetapi, saya pikir Maya masih belum pulang dari kampus. Mau menunggu?" tawar saya tanpa sengaja dan
saya berharap dia cepat-cepat pergi.
Tetapi, tampaknya dia lebih lihai dari yang saya duga. "Tidak apa-apa Pak, kebetulan saya sudah lama ingin ketemu Bapak, ngomong-ngomong soal sikap pemerintah terhadap gerakan reformasi oleh mahasiswa."
"Oh, apa tidak salah? Saya kan bukan pejabat, cuma pegawai
negeri biasa," kilah saya sambil terus menyiram pot-pot bonsai kesayangan
saya di teras.
"Justru itu, Pak. Kalau Bapak seorang pejabat atau bekas
pejabat, pasti Bapak terlibat KKN dan tidak suka dengan saya karena saya salah
seorang dari mahasiswa yang ikut mendemo pejabat teras di daerah ini."
Entah bagaimana, saya merasa tersanjung dan mulai simpati pada
anak muda itu, meski dalam hati bercampur rasa was-was kalau-kalau dia ternyata
pacar Maya. Lebih jauh lagi, rasanya, Maya tak pantas pacaran dengannya.
Setidaknya, menurut keinginan saya, pacar Maya, yang sekarang baru sembilan
belas usianya itu, haruslah tampan dan kelihatan
punya wawasan luas. Ini Darmon, seperti yang diperkenalkannya tadi, kelihatan tidak intelek dan lebih mirip
kernet bus kota.
Ia begitu saja mengikuti langkah kaki saya memilih tanaman-tanaman kecil saya yang patut disemprot air karena kelihatan kering. Sepertinya Darmon tidak begitu tertarik dengan tanaman, malah mencecar saya dengan pertanyaan-pertanyaan
sekitar politik dalam negeri.
"Ngomong-ngomong, kamu jurusan
apa?" "Pertanian. Budi Daya Pertanian,"
jawabnya datar.
Saya terkesima dan telanjur menduga ia belajar sosial politik, mulai kurang simpati karena dia justru tidak tertarik dengan hobi saya."Ngomong-ngomong, kamu tahu tidak, nama latin
bonsai yang ini?" "Oh, pohon asem
ini? Kalau tidak salah, Tamaridus indica."
Kalau yang ini?" uji saya lebih jauh,
kalau memang ia mahasiswa fakultas pertanian. "Ini jenis Ficus, Pak. Ini sefamili dengan karet. Tepatnya
yang ini Ficus benyamina."
"Kok kamu kelihatan tidak
tertarik?" "Bukan itu soalnya, Pak saya pikir, ini
kesenangan orang yang sudah mapan seperti
Bapak. Tidak mungkin saya menggandrungi tanaman yang
membutuhkan perhatian besar dan halus ini
dalam keadaan liar seperti ini."
"Liar? Kamu merasa orang liar?" "Nah, Bapak salah duga lagi. Bukan saya orang
liar, tetapi situasi perkuliahan, praktikum, kegiatan kemahasiswaan, dan tambah lagi situasi sekarang yang membuat mobilitas saya tinggi. Jadi, bolehlah disebut liar, namun dalam pengertian yang saya sebutkan
tadi."
Diam-diam saya merasa ditemani. Saya menawarkan duduk berdua sambil minum kopi di teras. Saya ingin tahu lebih jauh apa yang ada dalam hati
pemuda mirip gembel itu.
"Maaf, kalau disuguhi kopi begini,
keinginan merokok saya jadi muncul. Bapak
keberatan?" ujarnya. "Inah, bawa asbak
rokok ke sini," desak saya kepada pembantu yang baru saja masuk setelah menghidangkan dua cangkir kopi. "Nah, itu tandanya saya tidak keberatan. Sekarang, coba kamu ceritakan keinginan kamu terhadap kondisi negara ini setelah pemilu nanti. Bapak mau tahu langsung
dari aktivis reformasi."
Darmon tersenyum miring sambil menghembuskan asap rokoknya yang kelihatan mahal. Lalu ia buka suara. "Saya jadi kikuk, Bapak perlakukan
saya seperti anak kecil terus." "Kamu
pikir begitu? rasanya kok ndak." "Apa
bedanya Bapak tanya saya begini 'Apa cita-citamu, Mon?' Sama saja kan? Maksud
saya, pertanyaan Bapak itu terlalu umum."
"Mestinya saya tanya apa? Baik,begini.Menurut kamu, Mon,
bagaimana prospek perekonomian bangsa Indonesia setelah pemilu?"
"Ini insting saya saja, Pak, ya. Menurut saya kalau tidak
terjadi perang karena tidak puas, karena curang lagi misalnya, ekonomi kita
bakal merangkak pelan sekali. Butuh waktu tiga sampai lima tahun. Kita baru
bisa bangkit lagi setelah tujuh tahun," ujarnya lancar.
Saya
mulai kagum dengan keberaniannya, kepolosannya, dan kelancarannya berbicara.
Selama ini tidak ada anak muda yang bicara dengan gaya selancar
dan sejujur dia, apalagi anak buah di kantor. Tiba-tiba saya menginginkan anak
buah saya seperti Darmon. Tidak perlu membungkuk-bungkuk dan mengucapkan maaf
berkali-kali, padahal yang diterimanya adalah haknya sendiri.
Senja mulai merambat. Kami terlibat dalam percakapan yang
menarik. Bahkan, ketika Maya pulang, mendorong pintu pagar, hampir-hampir tidak
menjadi perhatian benar bagi Darmon. Dia hanya saling tersenyum,meski saya
tahu,di belakang saya mereka pasti akrab sekali. Justru Darmon pula yang
mengingatkan saya tentang senja.
"Pak, sudah senja. Terima kasih atas waktu Bapak untuk
saya. Saya pamit dulu."
"Bagaimana kalau Maghrib di sini saja?" terlontar
begitu saja dari mulut saya. Saya terasa
telanjur, jangan-jangan dia tidak seagama dengan saya.
"Terima kasih, saya selalu mengusahakan shalat Maghrib dan
Isya di masjid. Assalamu’alaikum."
Di meja makan, malam itu, saya mau tahu reaksi Maya. Sedapatnya
saya ingin tahu aspirasi anak-anak agar tidak terlalu dalam jurang pemisah
antargenerasi. Dari bacaan-bacaan, sering orang tua disalahkan karena tidak
nyambung dengan keinginan anak-anak. Saya tak mau menjadi orang tua yang
konyol. Oleh sebab itu, saya menanyai Maya di hadapan mamanya dan adiknya,
Pada, yang kini sudah siswa SMA kelas satu.
"Kok, kamu tidak keluar lagi, Darmon ke sini kan, mau
ketemu kamu, Maya."
"Ih, Papa. Orang begitu saja dilayani," jawabnya.
"Jadi, dia bukan pacar kamu?"
"Amit-amit, Pa. Kalau yang begituan, di kampus banyak,
tuh."
"Maksud Papa, meski dia bukan pacar kamu, kalau dia datang
baik-baik ingin ketemu, tidak ada salahnya ditemui sebentar. Papa tidak
keberatan."
"Kan, sudah ada Papa yang melayani. Asyik lagi, pakai
ketawa-ketawa ngakak. Untuk Papa ketahui, dia itu sekarang lebih banyak mangkal
di markas reformasi. Kuliah jarang dan nilai semesternya anjlok semua. Orang
seperti itu tidak punya masa depan, lho, Pa."
"Apa dia pemusik rock?" tanya Papa.
"Tau.
Orang lain fakultas, lagi pula, saya Cuma kenal waktu
demo tempo hari," jawab Maya.
"Kenapa?"
"Rambutnya
panjang segitu, mestinya, dia ngerock. Zaman sekarang, rambut anak muda, kan, kayak
Papa ini, cepak."
"Mama
dengar sekilas tadi, dia ngomong politik
tinggi sama Papa kamu di teras. Sekolah saja berantakan,
kok mau-maunya omong politik. Apa dia itu bisa menyelesaikan
sembako?"
"Wong,
tampangnya serem, ya, Nya?" Inah ikut bicara
sambil menuangkan air ke gelas istri saya.
"Ya,
kamu lihat waktu ngasih kopi tadi, ya?
Mama juga
tidak sudi kalau pacar kamu kumal begitu, Maya."
Saya cuma
mengunyah makanan diam-diam karena kalau mama
anak-anak sudah buka bicara larinya pasti ke
sembako, hidup susah, makan gaji tanpa
tambahan. Ujung-ujungnya, akan sampai soal saya, yang
tidak pandai berinduk semang sehingga tak pernah
kebagian memegang proyek, padahal sudah dua
puluh tahun bekerja sebagai pegawai negeri.
"Papamu
ini memang sudah dari sononya aneh-aneh," Rini,
istri saya, sudah mulai seperti yang saya duga.
"Memangnya,
Papa aneh?"
"Mahasiswa gembel begitu saja diajak ngobrol ngalor-ngidul. Akrab lagi. Kemaren ini, Sanip datang menawarkan taktik untuk menggaet proyek, eh, malah
disuruh pergi."
"Dia. Sanip itu, memang, biang kongkalikong di kantor.
Yang penting kantungnya penuh. Tidak peduli itu
bukan uang nenek moyangnya. Dia itu sudah pernah kena peringatan. Untung bos
kami masih kasihan. Kalau tidak, dia itu
diadili," jelas saya.
"Makanya, pandai-pandai, agar kita bisa hidup agak
lumayan."
Saya cepat-cepat mencuci tangan, meski masih tersisa nasi dan lauk di piring. Saya mau cepat-cepat ke teras, mendinginkan suhu badan di bulan Februari yang panas, setelah hampir enam bulan tidak
diguyur hujan.
"Moneter, ya, moneter, orang-orang hidup pada senang juga. Papa kalian? Jangankan memperbaiki mobil, malah dijual. Sekarang, rasain, tiap pagi
berebut bus kota."
Saya merasa bersyukur, istri saya tukang protes sejak dulu. Kalau tidak, mungkin saya sudah tidak bergairah lagi bekerja. Saya tidak perlu
bersedih karena menurut saya, masih banyak orang Indonesia yang hidupnya
memalukan, meskipun berpendidikan lumayan.
Sebagai
kepala subbagian, saya selalu datang tepat waktu. Seperti biasa, selalu
saja saya orang pertama, itu biasa.
Tetapi ketika lewat di meja Sanip, saya jadi marah.Ternyata, surat edaran yang
saya suruh kirim atas nama bos masih bertumpuk di mejanya. Begitu saya melihat
batang hidungnya, langsung saya tuntut.
"Hei,
edaran itu belum juga kamu kirim?"
"Ya,
ya, Pak. Pagi ini, saya suruh Mardambin mengirimnya."
"Janji,
ya?"
"Janji,
Pak."
"Kamu
sudah ngopi?"
"Sud…eh,
belum Pak."
"Ke
kantin, ayo, ikut saya."
"Terima
kasih, Pak. Saya ikut!"
Saya
mau tertawa, tetapi saya tahan. Tiba-tiba saya ingin menggantinya dengan Darmon. Dan, tiba-tiba pula, sewaktu minum
kopi di kantin saya katakan pada Sanip agar dia meniru vitalitas kejujuran dan keberanian
seperti Darmon.
"Darmon
yang mana, Pak?"
Saya
tertawa. Kali ini, tidak bisa saya tahan. "Ada anak muda, mahasiswa,
aktivis reformasi, tukang demo dan kelihatan kumal, serta rambutnya tak
terurus, tetapi dia pintar."
Sanip
memandang wajah saya, seperti ada sesuatu yang hendak dikatakannya. Sanip
menghirup kopinya pelan-pelan, lalu membuang pandang jauh ke depan, menembus
tembok kantor.
"Mengapa
kamu, kok, sedih amat kelihatannya, Nip?"
"Habis,
Bapak menyindir saya."
"Kenapa?
Kamu tersinggung, ya? Meski saya atasan kamu, usia kita, kan, hampir sama. Kamu
jangan sungkan-sungkan berkata jujur seperti Darmon yang saya kenal itu."
"Saya,
memang, cuma tamat SMA, tidak sarjana seperti Bapak. Tetapi saya ingin anak
saya jadi sarjana. Dia lulus UMPTN di fakultas pertanian. Tetapi kini, saya tak
sanggup membiayainya lagi hingga semester ini dia istirahat kuliah. Kasihan
dia!"
"Siapa
anakmu?"
"Darmon!"
Sumber:
Kumpulan cerpen Dua Tengkorak Kepala, cerpen pilihan Kompas, 2000
![]()
Setelah
membaca cerpen "Darmon" tersebut, Anda tentunya sudah mempunyai
gambaran mengenai unsur-unsur tema, tokoh, latar,
dan pesan yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan uraian tentang tokoh
dan penokohan, tokoh Darmon merupakan tokoh utama karena dialah yang menjadi
sumber percakapan, sengketa, penyebab
munculnya suatu peristiwa, dan penentu alur dalam cerita. Penokohan terhadap Darmon cukup menarik karena
secara bentuk lahir ia tampak kumal dan mirip gembel, tetapi ia baik,
cerdas, dan memiliki cita-cita mulia. Selain
itu, Darmon juga dapat disebut tokoh protagonis mengingat kelebihan dan
perilaku baik yang ia miliki. Tokoh protagonis
adalah tokoh utama dan biasanya memiliki watak yang baik. Sementara tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang tokoh utama. Keunikan tokoh Darmon juga dapat
diidentifikasi dari jalan pikirannya
yang tergambarkan dalam percakapannya dengan tokoh aku, misalnya pada
percakapan berikut.
"Kok kamu kelihatan tidak
tertarik?"
"Bukan itu soalnya, Pak. Saya pikir, ini kesenangan
orang yang sudah mapan seperti Bapak.Tidak mungkin saya menggandrungi
tanaman yang membutuhkan perhatian besar dan halus ini dalam keadaan liar
seperti ini."
"Liar? Kamu merasa orang
liar?"
"Nah,
Bapak salah duga lagi. Bukan saya orang liar, tetapi situasi perkuliahan,
praktikum, kegiatan kemahasiswaan, dan tambah
lagi situasi sekarang yang membuat mobilitas saya tinggi. Jadi, bolehlah
disebut liar, namun dalam pengertian yang saya sebutkan tadi."
Dari
percakapan tersebut, terlihat bahwa jalan pikiran Darmon sulit ditebak sehingga penuh kejutan. Dia juga
tampak dingin dalam menghadapi peristiwa, yaitu saat bertemu Maya,
padahal tujuan utama dia berkunjung adalah bertemu Maya.
Perhatikan
kutipan berikut.
Bahkan ketika Maya pulang, mendorong pintu
pagar, hampir- hampir tidak menjadi perhatian benar bagi Darmon."
Tokoh
aku, Maya, Rini, dan Sanip adalah tokoh-tokoh yang membentuk konflik. Tokoh aku adalah seorang pegawai negeri yang jujur. Adapun tokoh Rini (istri tokoh aku) adalah
orang yang hanya mementingkan hal
material. Hal itu terlihat dari percakapan mereka berikut.
"Mahasiswa gembel begitu saja
diajak ngobrol ngalor-ngidul. Akrab lagi. Kemaren ini, Sanip datang menawarkan
taktik untuk menggaet proyek, eh, malah disuruh pergi."
"Dia.
Sanip itu, memang, biang kongkalikong di kantor.Yang penting kantungnya penuh.
Tidak peduli itu bukan uang nenek moyangnya. Dia itu sudah pernah kena
peringatan. Untung, bos kami masih kasihan. Kalau tidak, dia itu diadili,"
jelas saya.
"Makanya,
pandai-pandai, agar kita bisa hidup agak lumayan."
Tokoh
Rini dan Sanip dapat disebut juga sebagai tokoh antagonis karena perilakunya negatif. Demikian juga, tokoh Maya yang melecehkan
tokoh Darmon.
"Ih, papa. Orang begitu
saja dilayani," jawabnya.
"Jadi, dia bukan pacar kamu?"
"Amit-amit, Pa. Kalau
yang begituan, di kampus banyak, tuh."
Tokoh
aku berperan dalam mengantarkan cerita. Tokoh Rini berperan dalam membentuk
konflik. Adapun tokoh Sanip sangat berperan dalam membentuk akhir cerita yang
mengejutkan dan menggantung. Sama sekali tidak diduga bahwa Darmon ternyata
anak Sanip. Alur menggantung karena berakhir pada klimaks dan tidak ada
penyelesaian. Misalnya, tidak diceritakan bagaimana nasib tokoh Darmon dan
Sanip selanjutnya.
Apakah
Anda mempunyai pendapat lain mengenai peran tokoh-tokoh dalam cerpen
"Darmon"? Kemukakan pendapat Anda dan diskusikanlah dengan
teman-teman Anda.
Setelah mengidentifikasi
penokohan dan alur, Anda dapat menanggapi cerpen tersebut. Misalnya, seperti
tanggapan berikut.
1. Dalam
ruang yang sempit, cerpen "Darmon" mampu mengungkapkan banyak hal
besar, yaitu masalah reformasi, korupsi, perilaku mahasiswa yang beragam,
perilaku pegawai negeri selaku pelayan masyarakat, serta lingkaran antara
perjuangan reformasi dan tuntutan memenuhi kebutuhan hidup. Hal itu terlihat
dalam tokoh Darmon seorang mahasiswa pejuang reformasi berayahkan Sanip,
pegawai negeri yang seringmelakukan tindak korupsi.
2. Dialog
antara tokoh aku dan Rini kurang intens sehingga konflik yang terbangun kurang
mencuat. Akibatnya, cerita terkesan berjalan datar dan memuncak pada akhir
cerita.
Cerita para tokoh dalam cerpen tersebut dapat dijadikan sebuah
pelajaran yang amat berharga bagi kita. Bagaimana menyikapi suatu permasalahan
seperti yang terjadi antara tokoh cerpen tersebut merupakan sebuah pelajaran
berharga yang didapatkan dari sebuah kegiatan membaca cerpen.
Kaidah Bahasa
Di
dalam cerpen "Darmon", terdapat kalimat Setidaknya, menurut saya,
pacar Maya, yang sekarang baru sembilan belas usianya itu, haruslah tampan dan
kelihatan berwawasan luas.
Kalimat
tersebut menimbulkan makna ganda.
a.
Orang yang baru sembilan belas
usianya adalah Maya.
b.
Orang yang baru sembilan belas
usianya adalah pacar Maya
Kalimat yang menimbulkan makna ganda disebut kalimat ambigu.
Agar tidak ambigu, kalimat tersebut dapat diperbaiki menjadi kalimat berikut.
Setidaknya, menurut saya, adalah Maya,
yang sekarang baru berusia sembilan belas tahun itu, memiliki pacar yang tampan
dan kelihatan berwawasan luas.
Contoh kalimat ambigu
yang lain adalah:
Tangan kanan ketua
organisasi pemuda itu sakit.
Kalimat tersebut dapat menimbulkan makna
ganda karena adanya makna konotasi dan denotasi dari kata tangan kanan.
a.
Tangan sebelah kanan ketua
organisasi pemuda itu sakit (makna denotasi).
b.
Orang yang menjadi kepercayaan
ketua organisasi pemuda sedang sakit (makna konotasi).
Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen
Unsur intrinsik cerpen sebagai berikut.
a.
Tema merupakan ide
pokok yang mendasari suatu karya sastra.
b.
Amanat dan Pesan
merupakan pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karya sastra.
c.
Alur atau Plot
merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra.
Tahap-tahap alur secara sederhana yaitu:
a. permulaan d. puncak atau klimaks
b. pertikaian e. peleraian
c. perumitan f. akhir
Macam-macam alur dalam cerpen.
a. Alur berdasarkan urutan waktu
1. alur
kronologis/ alur maju/ alur progresif
2. alur
tidak kronologis/alur mundur/alur regresif/alur flash back
3. alur
campuran
b.
Alur berdasarkan jumlah
1.
Alur tunggal
2.
Alur ganda
c.
Alur berdasarkan kepadatan/kualitatif
1.
Alur erat
2.
Alur longgar
D. Penokohan
merupakan pemberian sifat atau karakter pada tokoh dalam karya sastra.
Macam-macam
metode untuk menggambarkan penokohan sebagai berikut.
a.
Secara langsung/ analitik
b.
Secara tidak langsung/ dramatik
1.
Digambarkan melalui tempat atau lingkungan sang tokoh.
2.
Digambarkan melalui percakapan sang tokoh atau tokoh lain.
3.
Digambarkan pikiran sang tokoh atau tokoh lain.
4.
Perbuatan tokoh
E. Macam-macam
tokoh
1.
Dilihat dari peranan/ tingkat pentingnya
a). Tokoh utama
1).
Tokoh protagonis
2).
Tokoh antagonis
b). Tokoh tambahan
2.
Dilihat dari wataknya
a). Tokoh sederhana (flat
character)
b). Tokoh bulat/ kompleks (round
character)
F. Latar merupakan keterangan atau rujukan tempat, waktu, dan
suasana terjadinya peristiwa dalam cerita.
Macam-macam latar sebagai berikut.
1.
Latar tempat
2.
Latar waktu
3.
Latar situasi
G. Sudut
pandang merupakan cara pengarang menyebut tokoh dalam karyanya.
Macam-macam
sudut pandang sebagai berikut.
1.
Sudut pandang persona ketiga ”dia”
a. “Dia”
maha tahu (author-omniscient)
b. “Dia”terbatas
atau “Dia” pengamat (author-observer)
2.
Sudut pandang persona pertama ”aku”
a.
“Aku” tokoh utama (author-partisipant)
b.
“Aku” tokoh tambahan
3.
Sudut pandang campuran ”ku” dan ”dia”
H. Konflik
yang terjadi dalam cerpen. Konflik merupakan masalah yang dihadapi tokoh dalam
cerita.
Uji Materi
a.
Buatlah sebuah kelompok yang terdiri atas tiga orang.
b. Bacalah
cerpen berikut dengan teliti.
c. Identifikasilah
unsur-unsur yang ada dalam cerpen tersebut.
d.
Diskusikan nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen tersebut.
Lempengan-Lempengan
Cahaya
Oleh: Danarto
Sebagai lempengan cahaya, ayat-ayat itu
meluncur dengan kecepatan di luar batas angan-angan. Udara,
awan-gemawan, cuaca, terang, gelap, dan bau-bauan memandang ayat-ayat itu penuh
kegembiraan. Udara, tempat percampuran segala zat, seperti memperoleh zat baru
setelah dilewati ayat-ayat itu. Cuaca lalu menerbitkan warna begitu ayat-ayat
itu melintas, suatu warna yang tidak bercampur dengan warna-warna yang sudah
disapukan sebelumnya, seluas langit. Suatu warna bintang terang yang berbinar-binar, yang langit tidak mampu
menangkap kecepatannya.
Ayat-ayat itu tiba-tiba saja sudah berada di
ujung, ditandai dengan ledakan cahaya besar tanpa bunyi.
“Saya merasakan seperti tidak bergerak,” kata Al-Fatihah.
“Apakah karena kecepatan kita yang luar biasa?” sahut Ayat
Kursi.
“Apakah kita benar-benar melakukan pengembaraan?” kata Surah Ali
Imran.
“Saya merasakan apa saja yang kita lewati menyambut kita penuh kegembiraan.”
“Rasanya kegembiraan itu sebuah nyanyian besar.”
“Yang memenuhi langit.”
Apakah pernah terlintas suatu cuaca yang seperti itu,
percampuran antara suasana-warna-bunyi, yang senyata-nyatanya, yang meneduhkan
mata, menyedapkan pembauan, dan empuk di telinga, lalu-lalang di tenggorokan
sama leluasanya lewat lubang hidung, membuat segalanya ringan.
Apakah pernah terlintas suatu cuaca yang seperti itu, yang rata,
yang tanpa dimensi, yang tak ada jarak, jauh dan dekat satu jangkauan, semua
sisi benda terlihat, semua sama besarnya, semua nyaring bunyinya, semua dalam
kedudukan yang mengambang,tembus mata, dalam suatu kepekatan warna.
Apakah pernah terlintas suatu cuaca yang seperti itu, di antara
bunyi-bunyian dan kediaman, benderang tanpa bayangan, warnanya silih berganti,
yang kabut menjadi kelambu, yang embun menjadi permadani, suatu pemandangan mengambang
yang setiap saat siapa pun dapat berhenti tanpa menginjak sesuatu dan tanpa
jatuh meluncur.
“Apakah ini, yang melintas sebagai lempengan-lempengan cahaya?”
tanya sapuan warna.
“Kami adalah ayat-ayat suci,” sahut Al-Fatihah, Ayat Kursi, dan
Surah Ali Imran bersamaan.
“Alangkah berbahagia kalian,” kata sesayup bunyi.
“Apakah kami nampak seperti itu?” tanya ayat-ayat itu.
“Kalian nampak jauh lebih baik lagi,” kata seberkas udara.
“Kalian bernyanyi,” sambung sebersit bau.
“Apakah kami kedengaran bernyanyi?”
“Kalian nampak lebih dari itu.”
“Dari mana mau ke mana kalian?”
“Kami dari Lauhul Mahfus, dengan tujuan bumi.”
“Jadi selama ini kalian ada dalam pingitan?”
“Ya. Dan masih banyak sekali yang lain.”
“Saya lalu ingat, pernah pula berduyun-duyun ayat-ayat suci
meluncur dari ketinggian yang tak terbayangkan, menuju bumi yang hijau
royo-royo.”
“Kapan itu?”
“Jauh. Jauh. Jauh sekali sebelum pengembaraan kalian ini.”
“Enak ya ditugaskan di bumi.”
“Di antara para pembangkang Tuhan?”
“Di antara para pembangkang Tuhan.”
“Di antara gerombolan yang saling bermusuhan?”
“Di antara gerombolan yang saling bermusuhan.”
“Di antara ambang kehancuran?”
“Di antara ambang kehancuran.” Sapuan warna memoles langit
dengan hijau sesayup bunyi menghantarkan suara.
Seberkas udara meniup suasana Sebersit bau mengantar
pengembaraan Ayat-ayat meluncur jauh, semakin jauh. Semua benda yang mengisi
langit mengucapkan selamat jalan Yang padat, yang cair, mencarikan jalan
memasukkan gelap ke dalam terang menghembuskan harum ke seluruh bentangan
merentang cakrawala biru kuning hijau ungu merah hitam berbaris rapi dan lurus.
“Kami, bintang-bintang, menyibak. Menebas rintangan, membuka
jalan,” seru kelompok bintang ketika menyaksikan ayat-ayat suci itu meluncur.
“Salam sejahtera,” balas Ayat-ayat itu.
“Semoga kedamaian melimpah,” seru Awan gemawan. “Semoga
keseimbangan tetap terjaga,” balas Ayat-ayat itu. “Kalian menuju bumi?
“Kami menuju bumi.” “Bumi yang hijau.” “Bersimbah merah.” “Bumi
yang subur.” “Yang digerogoti gersang.” “Pangkalan terakhir kalian.” “Sebelum
menuju kekekalan.” Bintang-bintang saling beranggukan tanda kegembiraan. Sesaat
keseimbangan meregang, lalu teratur kembali.
Awan gemawan berarak cepat, seperti ditiup mulut langit.
Kecepatan cahaya ditahan sejenak, memberi senyuman bagi yang lewat. Semburat
warna berbinar-binar, suatu bias dari lempengan-lempengan cahaya yang melayang
keras, bias yang beruntun, bersusun, yang sejauh mata tak dapat menjangkaunya.
Ayat-ayat itu menyapu bersih suasana, apa pun yang
digambarkannya. Suasana tenteram, suasana nyaman, suasana syahdu, ayat-ayat
tidak memerincinya. Setiap sibakan yang dilalui ayat-ayat itu mengepul-epul,
tanpa sesayup bunyi terdengar. Kesyahduan seperti ini barangkali bagi manusia
justru menakutkan, sejauh ini setiap gerak-gerik manusia selalu diikuti
suara-suara, sekecil dan selemah apa pun. Benda-benda wadag, sekalipun bernama
manusia, rupanya hanya dapat bergaul dengan
suara-suara yang agal saja. Ini tentu persaudaraan sejenis, hanya bentuk
saja yang berbeda.
Ayat-ayat suci itu ketika memasuki atmosfir menimbulkan suara
gemuruh. Gurun dan gunung-gunung batu terbakar. Binatang-binatang padang pasir
— berbagai jenis yang melata maupun yang terbang — berkaparan. Oase-oase
mendadak kering kerontang. Pohon-pohon korma yang mengelilinginya hangus jadi
patung arang. Melihat pemandangan ini, padang pasir itu miris. Segerombolan
awan tidak kuasa menahan sedu sedannya, memohon kepada Tuhan:
“Ya, Allah, tidak mungkin dibiarkan pemandangan yang mengerikan
ini berlangsung lama. Tidak sesuatu pun akan kuat menatapnya.” “Apa
sesungguhnya yang ingin kamu lakukan?” jawab Allah. “Hanya Allah Yang
Mahatahu,” seru Awan.“Baiklah,” kata Allah,
“Wahai awan, sedotlah air laut sebanyak-banyaknya. Lalu semburkan air
itu ke seluruh padang pasir ini dengan menyebut nama-Ku lebih dahulu.”
Secepat kilat segerombolan awan itu melesat mencari lautan. Dari
atas lalu disedotnya laut itu selahap-lahapnya. Sebagai pilar yang amat besar
yang menyangga langit, air laut yang disedot awan itu nampak gilig putih, kokoh
menunjang angkasa. Dan segerombolan awan itu lalu mengucap, “Dengan nama Allah
Yang Mahapengasih-Mahapenyayang,” lalu menyemburkan air laut itu ke segala
jurusan padang pasir yang membentang di bawahnya.
Padang pasir itu menerima curahan hujan dengan kegembiraan yang
sangat. Segalanya lalu kembali seperti sediakala. Gurun dan gunung-gunung batu
menjadi berkilau kembali. Binatang-binatangnya hidup kembali. Oase-oasenya
menyemburkan air kembali. Dan batang-batang korma menghijau kembali.
Nabi Muhammad yang sudah memulai masa kenabiannya mendengar
suara gemuruh itu. Sering juga terdengar suara gemerincing. Lalu wahyu itu
diterimanya begitu berat hingga peluh Rasulullah bercucuran sebesar biji
jagung, sekalipun di malam hari yang dingin. Segala puja dan puji hanya bagi
Allah Subhanahu Wataala, yang menciptakan dan memelihara alam semesta seisinya.
Ketika ayat-ayat itu sudah dikenal luas seantero benua-benua,
dan dibaca berulang-ulang oleh ratusan juta orang yang melakukan salat, lempengan-lempengan cahaya itu terus meluncur.
Mereka terus mengembara. Seolah-olah kewajiban yang dibebankan ke pundak
mereka tak selesai-selesainya. Suatu tugas abadi. Ayat-ayat itu agaknya ingin
kekal di dalam pengembaraan-nya. Dengan kecepatan sekejap mata untuk ribuan kilometer, ayat-ayat itu tiba-tiba muncul di
depan orang per orang, di kerumunan pengajian, di masjid, di pasar, di
kantor, di stasiun, di hotel, di bengkel, di sawah, di pabrik, di rumah-rumah,
di hutan, di gunung, di telaga, di tempat-tempat persembunyian.
Setiap kali ayat-ayat itu muncul di depan orang-perorang maupun
di kerumunan pengajian, seolah-olah menantang meski kemunculannya yang
tiba-tiba itu selalu disertai kerendahhatian. Begitulah orang-orang menjadi terperangah. Merasa ditatap dengan sejumlah
syarat, meski ayat-ayat itu tak pernah mengajukan apa-apa sebagai
apa-apa. Lalu orang-orang menjadi sibuk. Menjadi kecanduan kerja, padahal
mereka dulunya biasa-biasa saja. Orang-orang seperti mendapat janji. Dan janji
itu bakal dipenuhi. Orang-orang jadi demam. Semuanya menjadi pemburu.
Pengembaraan ayat-ayat itu juga sampai di Palestina. Ayat-ayat
itu mengetuk-ngetuk pintu rumah sebuah keluarga Palestina. Ketukan itu memang
terasa sangat lemah dibanding rentetan tembakan dan ledakan-ledakan yang
memporak-porandakan bangunan sekelilingnya. Siapa yang peduli ketukan? Seluruh
anggota keluarga yang ada di dalam rumah boleh jadi sedang bertiarap di lantai,
mencoba menghindari desingan hujan peluru.
Dan pemburu-pemburu bagi berdirinya negara Palestina mendapat semangatnya
dari ayat-ayat ini. Para pemburu itu sedang memperjuangkan didapatkannya tanah
bagi negara Palestina, meski sebenarnya tanah itu sudah ada. Tanah itu sudah
lama ada, hanya saja ada bendera lain yang sedang mendudukinya. Israel bukanlah
Israel kalau ia tidak Israel.
Sumber: Horison, Tahun XXIII, no 7, Juli 1988, hal. 230 – 232
Tugas Mandiri
1.
Bacalah cerpen berikut dengan
teliti.
2.
Identifikasilah unsur-unsur intrinsik
yang ada dalam cerpen tersebut.
3.
Diskusikan nilai-nilai yang
terdapat dalam cerpen tersebut.
Sumi dan Gambarnya
Karya Ratna Indraswari
Ibrahim
Lukisan ini dibuat oleh seorang pelukis, yang
sekarang alih profesi sebagai pedagang sebuah
toko. Dia memajang lukisan itu di tengah-tengah
tokonya. Menurut pemilik toko, lukisan yang dibuatnya itu
adalah karya bagus yang tidak bisa dibuat
lagi. Namun, harus dinikmati oleh banyak orang. Lukisan itu berbentuk seorang perempuan yang berwajah biasa. Namun, kelihatan sangat bersenang hati. Itu
gambar Sumi.
Sumi sudah tidak ingat,kalau dia pernah dilukis.
Sebab kini dia istrinya Bejo, lelaki
sedesanya. Sumi mencintai suaminya. Ucapan suami adalah
perintah bagi Sumi, yang diterimanya dengan lego
lilo.
Pada suatu kali temannya, Juminten, yang bekerja di pabrik datang dan bercerita. "Hidup sebagai buruh pabrik, gajinya kecil. Tapi, aku senang, daripada menunggu uang dari suamiku, yang kadang memberi tapi lebih banyak tidak. Aku bisa jalan-jalan
ke mana saja dengan uangku."
Sumi sebetulnya ingin juga mencoba, barang sebulan atau dua bulan, agar bisa beli baju dan jalan-jalan seperti Juminten. Tentu saja, Bejo tidak pernah memberi izin kepada Sumi dan dengan telak Bejo bicara kepada Juminten, "Kalau suamimu mengizinkan kau kerja di pabrik, itu urusannya.Tapi, kau
paham kan kalau Sumi itu hakku."
Ketika Bejo berkata begitu kepada Juminten, di tempat yang lain, pemilik lukisan bercerita ke seorang langganannya, mahasiswi yang suka ngebon di tokonya. "Sumi seorang perempuan sederhana yang
sangat menikmati hidup ini."
Mahasiswi itu menimpali, "Betul Pak, mungkin
perempuan seperti dia lebih bisa menikmati
hidup ini. Saya terkadang iri sebab dia bisa
memecahkan kehidupan ini dengan cara yang
sederhana."
Sumi yang sedang dibicarakan, baru saja ditampar
suaminya. Karena Sumi masih bicara tentang keinginannya untuk bekerja di kota. "Kalau saya dengar ucapanmu lagi, kamu tahu sendiri
akibatnya!"Sumi tertunduk. Dia takut
sekali dengan ucapan suaminya.
Pemilik toko itu, selanjutnya berkata kepada teman bicaranya. "Saya tertarik melukis dia. Karena saya
anggap dia begitu bahagia." Dan mahasiswi
itu cepat-cepat menjawab, "Yah,
kadang-kadang kita tidak bisa tahu lagi apa yang kita kerjakan untuk
menghadapi hidup yang desak-mendesak ini."
Sementara itu, tiba-tiba Sumi ingin sekali punya anak. Dia
merasa perlu memiliki anak yang pintar,agar bisa membawanya ke kota untuk
belanja dan jalan-jalan. Tetapi Bejo tidak setuju dengan pikirannya. Menurut
Bejo, dia kan sudah punya tiga anak dari suaminya yang terdahulu. Dan lagi Sumi
sudah berjanji akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Bejo mengatakan, sebaiknya
dua atau tiga tahun lagi mereka punya anak, kalau Bejo sudah punya pekerjaan
yang lebih bagus. Sumi sebetulnya ingin membantah.
Seorang penggemar seni datang ke Pedagang itu, menawar gambar
Sumi yang tersenyum dengan harga yang selalu diimpikan oleh setiap pelukis. Di
sisi lain, di kebun jati, Sumi merasa sulit bernapas. Dia membayangkan, betapa
bagusnya kehidupan orang lain. Seandainya dia punya anak dari Bejo ... Tapi
memang, pada saat ini, Bejo tidak ingin punya
anak dari Sumi! Bejo sekarang, rupanya lebih suka pergi dengan
perempuan lain. Menurut Bejo, Sumi tidak bisa jadi perempuan yang baik karena
angan-angannya berkeliaran tentang kehidupan di kota. Padahal Bejo sudah merasa
jadi suami yang baik sehingga yang salah pasti Sumi.
Mahasiswi itu sibuk memotret gambar Sumi, yang sebentar lagi
dijual ke seorang kolektor. "Suatu saat, saya kepingin ketemu tokoh Bapak
itu. Karena perempuan itu begitu bahagia. Sedang saya sendiri, sulit
mengklarifikasi, mengarifkan, apa arti bahagia ini."
Sumi sedang bicara dengan orangtuanya, "Sebenarnya, saya
takut sekali ke kota, Pak. Tetapi Bapak mestinya tahu, kalau suami saya
sebentar lagi akan menikah dengan tetangga sebelah rumah." "Kamu
tidak pernah mau belajar jadi istri yang baik," kata bapaknya berang.
Sumi gelagapan. Dia merasa salah dan tidak tahu apa yang bisa
diucapkan kepada bapaknya. Rasanya dia begitu jenuh pada Bejo, tapi dia sendiri
tidak bisa menerangkan, jelasnya bagaimana?
Sumi ke kota, sebagai buruh pabrik. Di antara jam-jam kerja, dia
merindukan keluarganya, bahkan Bejo yang kabarnya sudah menikah dengan perempuan
lain.Kedip lampu jalanan aneh, membuat dia
merasa kangen dengan kebun jati, Bejo, dan desanya.
"Jadi,
Sumi sudah sebulan di kota ini," kata pedagang itu. "Pak, saya ingin melihat lukisan saya. Kata Bapak, di lukisan itu saya begitu bahagia." "Maaf ya Sum, lukisan itu sudah saya jual.’’
Sumi tertegun Bukankah pedagang itu pernah berjanji, tak bakal menjualnya, sekali pun gambarnya
ditawar mahal.Dengan kacau dia pulang ke rumah kontrakkannya yang sedang sepi. Dia tersedot pada suatu pikiran yang aneh. Apakah mungkin Bejo dan pelukis ini yang membuat dia tidak sesenang dulu? Cepat-cepat pikiran itu segera dimatikan. Dia ingin kerja lebih keras seperti Juminten, agar dapat gaji lumayan. Tapi akhir-akhir ini, sering terpikir olehnya kedua lelaki itu (Bejo dan pelukis) yang pernah dicintainya. Dan keduanya kini membiarkan dia terlempar ke kamar sempit ini. Yah, Sumi memang tidak puas terhadap segala hal. Entah sejak kapan kamar kontrakan yang dihuni lima orang ini membuat Sumi sering merasa kepanasan sehingga dia sulit tidur. Padahal kerja
di pabrik sangat melelahkan.
Lukisan Sumi terpampang di rumah mewah sang kolektor. Lantas, seorang bule tertarik pada gambar Sumi. Dia membelinya untuk disimpan di museum negerinya yang dingin. Menurut si Bule, lukisan itu akan mengajarkan bangsanya, bagaimana tersenyum terhadap hidup ini. Waktu itu Sumi sedang menghitung rupiahnya. Dia selalu ingin membelikan adiknya sebuah tas sekolah yang bergambar. Tapi selalu uangnya hampir tak tersisa. Oleh karena itu, dia bercerita kepada Juminten, ingin membinasakan dua orang lelaki itu. Juminten yang mendengar ucapan Sumi tertawa. Bukankah ada lelaki lain yang diam-diam mencintainya, Pardi, mandor di pabrik mereka. Menurut Juminten, Pardi lebih baik dari si pelukis dan Bejo. Sumi tidak mau ngomong. Dia mencintai dua lelaki itu. Sedang Pardi, sebaik apa pun, dia tidak pernah mencintainya.
Mahasiswi dan pedagang itu sedang terharu karena sebentar lagi, lukisan itu akan diangkut ke negeri Bule yang membelinya. Si Bule menghibur mahasiswi ini, "Saya akan merawatnya baik-baik. Siapa tahu Anda suatu hari kelak mengunjungi negeri kami. Anda akan melihat, betapa cintanya kami pada lukisan yang berwajah Anda semua. Profil
yang sederhana dan bahagia." Dan gambar
Sumi memang sedang tersenyum. Sedang
Sumi sendiri, sedang menangis. Dia mendengar
kabar dari kampung kalau Bejo sudah punya
seorang anak lelaki dari istrinya yang baru. Dan lukisannya bakal diangkut ke negeri lain.
"Saya
akan membinasakan mereka! Saya tidak bakal puas kalau tidak membinasakan Bejo
dan pelukis itu," jerit Sumi sambil menangis. Juminten memberi nasihat,
"Sudahlah Sum, pokoknya Pardi sungguh-sungguh cinta sama kamu. Buat apa
mikir orang yang tidak cinta pada kita."
"’Bukan
itu masalahnya!" kata Sumi berteriak.
"Jadi
apa?" kata Juminten.
Sumi
sendiri tidak bisa menerangkan. Cuma saja dia merasa kebenciannya kepada kedua
lelaki itu semakin melebar dan kuat.
Dan
mahasiswi itu berkata kepada pedagang, "Lukisan Sumi sudah berangkat ya,
Pak? Mestinya saya memberi selamat pada pelukisnya. Apakah Bapak punya minat
untuk melukis kembali, setelah karya Bapak yang gemilang itu?"
Pedagang
itu menggelengkan kepala. Sumi adalah masa muda yang tidak bisa kembali.
Sungguh!
Sumi
sedang menuju rumah pelukis. Dia akan membunuh pelukis itu lebih dahulu.
Setelah itu Bejo. Kemarin pabrik menciutkan karyawan nya. Dia termasuk yang
diberhentikan. Bukankah kesedihan ini tidak pernah dipedulikan oleh orang yang
telah mengambil seluruh hati dan tubuhnya tanpa dia pernah menuntut imbalan?
Ketika
sedang menuju rumah yang dimaksud, dia dihadang oleh Pardi. "Apa betul kau
mau membinasakan orang?" Sumi tidak menjawab. Dan Pardi berjalan di
sebelahnya. "Apakah itu cita-citamu? Sebaiknya kau mampir dulu ke rumahku,
untuk omong-omong."
Sumi
merasa malu dan capek. Lantas dia berhenti. Pardi dengan sigap berkata, Mengapa
mesti membinasakan orang lain? Mengapa kita tidak kawin
saja?"
Sumi
dengan heran menatap Pardi. Jadi, yang ngomong barusan bukan pelukis atau Bejo
suaminya?
Sumi sudah berada di muka toko. Dilihatnya pelukis dan mahasiswi
itu sedang ngobrol.
Pedagang yang melihat ekspresi Sumi, gemetar. "Sum, apa
maumu dengan pisau itu. Kalau
kamu mau pinjam uang,
katakanlah. Kita kan teman dari dulu. Dan saya tidak pernah bersalah
kepadamu."
Sumi
melihat pedagang itu dengan perasaan aneh. Benarkah dia tak punya alasan untuk
membinasakan atau dendam pada lelaki yang memberinya cinta, dan menariknya
kembali kala dia baru saja mengenal dunia, dan merasa jadi perempuan?
"Kalau
kamu tidak keluar dari sini, saya akan lapor polisi!’’
Tiba-tiba
Sumi merasa lemas dan keluar dari toko ini.
Bapak
seharusnya tidak sekasar itu pada simbol kebahagiaan kita!"
Pedagang itu tidak menjawab. Dan mahasiswi itu sendiri tidak bisa berpikir apa pun lagi.
Juminten
memberi nasihat, "Kita cuma orang biasa.
Tidak usah berpikir aneh-aneh. Lebih baik kau menikah
saja dengan Pardi. Siapa tahu Pardi akan memberimu anak
kembar."
"Entahlah
Jum,saya merasa tidak bisa semudah itu. Kedua
lelaki itu telah mengambil seluruh jiwa dan raga saya." Kemudian Sumi menangis dan Juminten memeluknya
sembari turut menangis.
Suatu
saat, mahasiswi itu berkesempatan mengunjungi negara si Bule, tempat gambar
Sumi dipajang di salah satu museumnya. "Yah, saya kira Anda sekarang tahu,
kan? Kami
merawatnya dengan baik sekali sehingga gambar itu masih
tersenyum bahagia."
Itu
memang gambar Sumi yang masih tersenyum.
Sumi
sendiri sedang sulit tersenyum.Bersama Pardi dia mesti menghidupi empat
anaknya.
Itu
memang Sumi dan gambarnya.
Sumber:
Kumpulan cerpen Sumi dan Gambarnya, 2002
B.
Menulis Cerpen Berdasarkan Pengalaman
Orang lain
Setelah Pembelajaran
ini, kamu diharapkan mampu: 1. Mendapatkan Ide cerita dari kehidupan orang
lain; 2. Menentukan usur pembangun cerpen (pelaku, peristiwa, latar); 3. Mampu
menulis cerpen berdasarkan kisah kehidupan orang lain.
Pernahkah Anda menulis
cerpen? Cerpen dapat menceritakan apa saja.
Dalam praktiknya, pengarang harus memiliki ketangkasan menulis dan
menyusun cerita yang menarik. Di Kelas X, Anda telah mempelajari cerpen. Ada
dua cara menulis cerpen bagi yang masih belajar, yaitu dengan menulis
sinopsisnya terlebih dahulu dan mengamati
gambar yang tersaji. Dengan cara ini, orang-orang yang tidak terbiasa dan tidak berbakat menulis
cerita pendek akan mudah mengembangkan idenya menjadi sebuah cerita.
Apalagi, dengan banyak berlatih menulis dan banyak membaca cerita pendek karangan
orang lain, Anda pasti akan dapat menulis cerpen.
Berikut ini adalah hal-hal
yang biasanya dialami oleh penulis pemula dalam menulis cerpen.
1. Pembukaan cerpen yang panjang (bertele-tele). Sebenarnya,
pembukaan tidak perlu terlalu panjang. Ada baiknya, bagi pemula, untuk membaca
kembali naskah dan memotong pembuka cerpen
yang dirasa sudah terwakili pada paragraf-paragraf berikutnya
2.
Penulis
kadang bercerita kian kemari dan bagian terpenting justru hanya disinggung sebentar. Dengan demikian,
tidak ada konsep yang
matang. Sebaiknya, struktur cerpen adalah sebagai berikut: pengenalan yang
ringkas, pembangunan konflik cukup jelas, luas, dan lengkap, serta pengakhiran konflik secukupnya.
3. Penggunaan bahasa yang cukup kuno. Masih
banyak penulis pemula
yang menggunakan bahasa seperti pada zaman pujangga baru. Gunakanlah bahasa yang ringkas,
langsung, spontan, dan hidup.
4. Judul kurang memberikan gambaran akan apa
yang diceritakan. Judul harus membangun
isi. Hindarilah penggunaan judul yang denotatif (lugas). Intinya, judul harus
mampu menggugah pembaca untuk membaca cerpen yang Anda buat.
Jika
Anda menulis cerita pendek, jangan melupakan unsur- unsur intrinsik, seperti
tema, alur, penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain.
Ide
untuk membuat cerita pendek dapat diambil dari kisah hidup seseorang, baik pengalaman
menarik dan menyenangkan, maupun pengalaman yang menyedihkan. Berikut adalah
contoh langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam membuat cerpen berdasarkan
kisah hidup orang lain.
1. Carilah bagian dari kisah hidup orang lain
yang Anda anggap menarik. Bagian yang kurang menarik, atau
tidak menarik sama sekali, sebaiknya
diabaikan.
2. Galilah bagian yang menarik tersebut, lalu kembangkan ceritanya
sesuai keinginan Anda.
3. Kalau perlu, carilah sudut pandang yang unik,
agar cerita yang Anda tulis menjadi lebih
menarik.
4. Ikutilah langkah-langkah menulis cerpen berikut.
Langkah-Langkah
Menulis Cerpen
Sebuah cerpen dapat ditulis dengan langkah-langkah sebagai
berikut.
1. Mengadakan
observasi atau pengamatan
Observasi dapat
dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara langsung. Selain itu, observasi
dapat dilakukan dengan mengingat atau mendengarkan kejadian yang dilakukan oleh
orang lain.
Contoh:
Teman Anda
menceritakan peristiwa yang terjadi di pegunungan saat ia berlibur. Pegunungan
itu dapat dijadikan latar tempat dalam cerpen Anda.
2.
Menentukan tema
Tema cerpen sering
disebut ide cerpen. Tema dapat Anda tentukan dari hasil observasi yang telah
dilakukan, misalnya kehidupan di pegunungan.
3.
Menentukan latar
Seluruh hasil
observasi yang telah dilakukan dapat Anda gunakan untuk menciptakan latar.
Latar yang Anda buat harus sesuai dengan tema yang Anda tentukan. Anda juga
harus ingat bahwa latar terdiri atas latar tempat, latar waktu, dan latar
suasana.
Contoh:
latar tempat : di
pegunungan
latar waktu : senja hari
latar suasana : menyenangkan
4. Menciptakan
tokoh
Anda dapat
menciptakan tokoh dari orang-orang yang diceritakan oleh teman Anda atau
orang-orang yang mengalami peristiwa yang Anda lihat. Anda dapat mengganti nama
tokohnya. Anda harus menentukan tokoh utama dalam cerpen yang akan Anda buat.
Jangan lupa, Anda juga harus menentukan watak dan bentuk fisik tokoh-tokoh yang
Anda ciptakan.
Contoh:
Tokoh utama: Ida. Ida
seorang siswa SMA yang peduli dengan lingkungan. Ia seorang wanita yang berumur
tujuh belas tahun yang berambut panjang dan lurus. Kulitnya yang putih dan
halus menambah kecantikannya.
5. Menciptakan
konflik
Konflik adalah
pertentangan atau ketegangan dalam sebuah cerpen. Konflik dapat mengangkat
masalah yang terjadi dalam peristiwa yang diceritakan teman Anda atau masalah
yang terjadi dalam peristiwa yang Anda lihat. Misalnya, Anda melihat
pertengkaran antaranak. Anda dapat mengangkat penyebab pertengkaran itu menjadi
sebuah konflik dalam cerpen.
6.
Menentukan sudut pandang
Sudut pandang yang
akan Anda gunakan harus sesuai dengan cara Anda menceritakan tokoh utama.
Contoh:
Sudut pandang persona
ketiga ”ia”.
7.
Menentukan alur
Untuk mempermudah menuliskan cerita ke dalam cerpen, Anda harus menentukan
alur. Anda akan menggunakan alur maju, alur mundur, ataukah alur campuran.
8. Menulis
cerpen
Kembangkanlah tema yang telah Anda tentukan menjadi sebuah cerpen.
Cerpen yang Anda tulis harus memuat latar, tokoh, konflik, sudut pandang, dan
alur yang telah Anda tentukan. Gunakanlah kata-kata sederhana dan komunikatif.
Perhatikan pula ejaan dan pilihan kata yang Anda gunakan.
9. Menentukan
judul.
Judul dapat Anda tentukan saat akan menulis atau sesudah
menulis. Judul cerpen harus sesuai dengan tema dan peristiwa-peristiwa cerpen.
Contoh:
Tema cerpen : kehidupan di
pegunungan
Judul cerpen : Senja di
Pegunungan
Uji Materi
Kerjakan kegiatan berikut!
Kegiatan 1
1. Ingat-ingatlah peristiwa yang pernah diceritakan oleh teman
Anda!
2. Catatlah peristiwa-peristiwa tersebut!
3. Pilihlah salah satu peristiwa yang menarik bagi Anda!
4. Mintalah izin kepada
teman Anda untuk menuliskan peristiwa tersebut menjadi sebuah cerpen!
5. Gantilah nama teman Anda dengan nama lain!
Kegiatan 2
1. Tukarkan cerpen karangan Anda dengan cerpen teman Anda!
2. Bacalah cerpen yang ditulis oleh teman Anda!
3. Tanggapilah cerpen
teman Anda! Anda akan menanggapi isi cerpen dan bahasa yang digunakan teman
Anda.
4. Kumpulkan cerpen tersebut kepada guru!
|
Kamis, 11 Januari 2018
Unsur Intrinsik Cerpen
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar